Selama 2005-2018, konsumsi teh di pasar dalam negeri meningkat cukup signifikan sebesar 4% per tahun, sehingga pada tahun 2018 konsumsi teh di Indonesia mencapai 105.000 ton atau sekitar 75% dari total produksi teh Nasional. Suatu kontribusi yang sangat besar, hampir mirip dengan kondisi teh di India, dimana penyerapan konsumsi domestiknya mencapai 80% dari produksinya, selebihnya adalah untuk ekspor. Peningkatan konsumsi yang konsisten tersebut, seharusnya menjadi faktor pendorong untuk meningkatkan kinerja agribisnis teh nasional termasuk kinerja pada sub sistem on farm-nya atau perkebunan tehnya. Namun, pada kenyataannya kinerja sub sistem on farm tersebut pada periode yang sama justru menurun drastis pada level yang mengkhawatirkan sehingga diperlukan upaya penyelamatan perkebunan teh Nasional. Areal, produksi, dan ekspor perkebunan teh di Indonesia menurun drastis sementara impornya meningkat drastis. Dengan asumsi ceteris paribus, tidak ada kebijakan produksi dan perdagangan dalam penyelamatan perkebunan teh, diperkirakan perkebunan teh Indonesia akan tinggal nama atau sejarah pada tahun 2050. Sebetulnya, kondisi agribisnis teh Nasional saat ini mendekati kondisi di India, namun kebijakan pemerintah India, sangat melindungi produsen teh di dalam negerinya dengan menerapkan tarif impor sebesar 114%. Untuk menyelamatkan perkebunan teh Nasional, kebijakan yang sangat diperlukan (top urgent) berdasarkan hasil expert meeting adalah (1) subsidi input khususnya benih unggul dan pupuk urea, dan (2) kebijakan untuk mengurangi laju impor teh melalui peningkatan tarif impor teh dari 20% menjadi 40% untuk teh sebagai bahan baku industri sesuai dengan tariff bounding yang diperkenankan WTO, dan lebih dari 40% untuk retail produk teh, serta penerapan non tariff barriers antara lain persyaratan sertifikat halal, persyaratan mutu organoleptik, penerapan SNI wajib teh, Batas Maksimum Residu (SNI 7313-2008), dan ketegasan penerapan aturan origin teh Indonesia. Selain itu, untuk negara-negara yang telah terlanjur ditandatangani kesepakatan Free Trade Area (FTA) seperti Vietnam, Thailand dan India dengan ASEAN – India Free Trade Area (AIFTA) yang telah berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 dan dengan Cina pada Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang telah ditandatangani pada 15 November 2020, dengan tarif yang masih belum harmonis untuk komoditas teh, perlu dikaji penerapan instrument safe guard. Penerapan tarif impor yang unharmonize untuk komoditas teh pada FTA tersebut, akan mengakibatkan membanjirnya produk-produk teh asal Vietnam, India, Thailand dan Cina. Pada tahun 2018, impor teh Indonesia yang berasal dari keempat Negara tersebut telah mencapai 73,3% dari total impor teh Indonesia. Oleh karena itu perlu ditempuh instrument safe guard.