Mewujudkan kemandirian gula konsumsi nasional menjadi salah satu fokus utama bagi Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero). Tidak seimbangnya produksi gula secara nasional dengan konsumsi nasional membuat terjadinya defisit produksi gula di dalam negeri, dan mayoritas kebutuhan gula masih berasal dari impor.
Saat ini produksi gula Indonesia 2,1 juta ton, lebih rendah dari konsumsi langsung 2,8 juta ton dan kebutuhan industri 3,1 juta ton. Artinya, sebagian kebutuhan gula harus dipenuhi melalui impor. Potensi pengembangan industri gula masih sangat banyak. Kebutuhan gula nasional saat ini mencapai 6,7 juta ton sedangkan dari tahun ke tahun produksi gula terus menurun. PTPN menargetkan pada 2024 dapat memproduksi 2,1 juta ton dengan total kemandirian gula nasional mencapai 3,7 juta ton
“Kondisi kegulaan nasional membutuhkan perhatian serius semua pihak, transformasi yang coba ingin dihadirkan oleh PTPN Grup adalah berusaha melakukan auto kritik karena 60% pabrik gula negara adalah milik PTPN. Yang artinya peran PTPN adalah untuk mendapatkan masukan dari berbagai tokoh pemerhati tebu dan pihak akademisi” papar Mahmudi dalam membuka webinar mewujudkan modernisasi gula negara seri I.
Salah satu langkah strategis yang dilakukan PTPN Grup untuk mewujudkan kemandirian gula adalah mendirikan Sugar Co pada tanggal 17 Agustus lalu, dan menandai terbentuknya entitas baru bernama PT Sinergi Gula Nusantara, dengan sasaran pembentukannya adalah tercapainya produksi gula PTPN 1.8 juta ton di tahun 2024.
“Adapun empat tujuan utama trasformasi bisnis gula PTPN yakni mewujudkan kemandirian gula konsumsi, mengurangi impor gula, meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga stabilitas harga gula ritel,” jelas Mahmudi.
Kesejahteraan Petani adalah Kunci
Salah satu cara untuk mewujudkan kemandirian gula negara 2024 adalah kemitraan dengan petani. Oleh karena itu kesejahteraan petani menjadi kunci menuju cita-cita besar ini.
Mengawali komitmen tersebut PTPN III (Persero) melalui anak perusahaannya PT Riset Perkebunan Nusantara, menyelenggarakan webinar Mewujudkan Modernisasi Gula Negara Seri 1, dengan mengangkat topik Permasalahan, Kelembagaan dan Kerjasama Petani Dengan Pabrik Gula pada Selasa (28/9/2021).
“Saya berharap webinar ini menjadi masukan bagi PTPN Grup untuk dapat mengambil langkah kongkrit menuntaskan permasalahan pergulaan, serta menguatkan kemitraan dengan petani untuk meningkatkan kesejahteraan petani menuju kemandirian gula negara tahun 2024” ujar Mahmudi
Webinar tersebut dimoderatori oleh Dr. Ir. Zainal Abidin, MS – Dosen Fakultas Pertanian, UPN “Veteran” Jawa Timur serta diisi oleh Akademisi dari Universitas Brawijaya Dr Ir Sujarwo Msc, Asosisasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun, dan Peneliti Senior Institute for Development Of Economics and Finance – INDEF Prof Bustanul Arifin, dengan dihadiri oleh kurang lebih 270 peserta.
Akademisi dari Universitas Brawijaya, Sujarwo mengatakan bahwa dalam pembangunan pergulaan nasional adalah menguatkan pentagonal asset dari sisi petani, yaitu menguatkan investasi alat-alat produksi, dukungan lembaga riset dan perguruan tinggi, kelompok tani/koperasi petani tebu membuka peranan penting dalam pengembangan SDM petani, kemampuan akumulasi capital petani, serta petani harus mampu memperkuat social capital dan adanya kolaborasi dengan berbagai pihak.
Soemitro Samadikun sebagai ketua umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) memaparkan masalah yang dihadapi oleh petani tebu rakyat saat ini adalah tingginya biaya pokok produksi, namun pendapatan bersih petani relatif rendah, produktivitas tebu menurun namun yang selalu menjadi jawaban hanyalah ekstensifikasi, penetapan harga gula yang murah dengan menekan petani, serta penerapan revitalisasi yang tidak menyeluruh.
“Upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah pada tebu rakyat adalah peningkatan kualitas dan produktivitas tebu, adanya peningkatan ketersediaan benih/bibit, pupuk dan kredit yang diproduksi secara nasional. Sehingga akan berdampak pada penurunan biaya pokok produksi dan pendapatan petani meningkat dan pasti akan terjadi penambahan areal kebun tebu secara alami” ungkap Soemitro.
Ekonomi Senior INDEF, Bustanul Arifin mengungkapkan bahwa permasalahan struktural yang telah lama diketahui antara lain areal lahan tebu turun 2,5 persen, tercatat hanya 416 ribu ha pada tahun 2020.
“Dari sisi hulu, usahatani tebu tidak efisien, produktivitas rendah, persaingan lahan dengan tanaman pangan lain, terutama yang menjadi sasaran program pemerintah. Dari sisi hilir, sebagian besar pabrik gula di Jawa sudah tua, proses produksi tidak efisien, teknologi ketinggalan zaman, rendemen gula rendah, dll. Selain itu, Industri makanan-minuman domestik berkembang pesat, meningkatkan permintaan impor gula mentah, ada ketegangan antara gula rafinasi dan industri berbasis tebu,” jelasnya. Menurutnya, kebijakan industri gula harus terus dikembangkan melalui pengembangan gula berbasis tebu yang efisien, dimensi hulu-hilir, mulai dari sistem usahatani distribusi, perdagangan, hingga pasar global. PTPN juga perlu berinvestasi dalam R&D untuk terobosan perubahan teknologi, perbaikan sistem pembenihan dan pembibitan tebu, bongkar ratoon tebu secara berkala harus dilengkapi sistem penyuluhan dan pemberdayaan petani untuk peningkatan produktivitas tebu. (SIS)