Masalah Maximum Residue Limits (MRL) Anthraquinone (9,10-AQ) pada Komoditi Teh Indonesia di Pasar Eropa

0
4246

Gambar Teh di salah satu kebun di Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK), Bandung


Ditulis oleh: Dr. Rohayati Suprihatini
Peneliti Utama
PT Riset Perkebunan Nusantara

Apa itu Anthraquinone (9,10-AQ)?
Anthraquinone, dalam struktur kimianya memiliki  dua gugus  keton pada posisi C9 dan posisi C10 oleh karenanya sering dinotasikan dengan 9,10-AQ. 9,10-AQ juga disebut anthracenedione atau dioxoanthracene, adalah senyawa aromatik organik dengan rumus C14H8O2. Menurut National Center for Biotechnology Information (2017) beberapa karakteristik dari 9,10-AQ adalah massa molar 208,22 g/ mol; kepadatan 1,31 g / cm³; kelarutan dalam air adalah tidak larut; kelarutan dalam lemak adalah larut; titik lebur adalah 286 ° C (547 ° F; 559 K) dan titik didih adalah 379,8 ° C (715,6 ° F; 653,0 K).

Berdasarkan Komisi Regulasi Eropa 2017/776 tanggal 4 Mei 2017, 9,10-AQ diklasifikasikan sebagai Carc. 1B.  Artinya, 9,10-AQ diduga memiliki potensi karsinogenik bagi manusia karena memiliki cukup bukti pada binatang, pada hewan telah diujicoba dan menunjukkan  karsinogenisitas  hewan  (CNRS,  2011).

Komisi Regulasi Uni Eropa (UE) telah mengeluarkan   Peraturan   No.1146/2014 tanggal 23 Oktober 2014 yang menetapkan MRL untuk kontaminan Antraquinone (9,10-AQ) adalah sebesar 0,02 ppm diantaranya untuk teh.  Masalah yang  paling memberatkannya  adalah karena penetapan MRL untuk kontaminan yang bukan berasal dari residu pestisida seperti 9,10-AQ tersebut,  berdasarkan pada level of detection dari alat laboratorium  yang digunakan EU khususnya Eurofins Laboratory.   Semakin canggih alat labnya maka MRLnya semakin kecil, sehingga semakin sulit untuk memenuhinya.

Masalah non tariff barriers berupa peraturan-peraturan keamanan pangan di pasar Eropa menjadi semakin pelik, karena terdapat kecenderungan munculnya kontaminan-kontaminan baru.  Para pelaku usaha perkebunan di Indonesia bekerjasama dengan Puslit-puslit komoditasnya di bawah koordinasi  PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN)  terus melakukan kajian untuk menjawab apa saja sumber kontaminannya dan apa teknologi yang dapat mengurangi resiko tersebut.  Di satu sisi, kajian suatu kontaminan belum selesai, secara cepat telah disusulkan dengan munculnya kontaminan-kontaminan baru yang perlu dilakukan kajian lagi, sehingga hal ini merupakan masalah yang terus-menerus harus dihadapi oleh para pelaku usaha perkebunan khususnya pada komoditi dan produk teh yang mengakibatkan penciutan pangsa pasarnya.   Oleh karena itu, perlu dicari bukti ilmiah yang telak untuk meng-counter  segala macam kontaminan baik yang berasal dari residu pestisida maupun yang berasal dari non- residu  pestisida  yang  telah  ditetapkan  MRL-nya,  yang  akan  ditetapkan  MRL-nya  dalam waktu dekat dan dalam jangka menengah.

Dengan   telah   ditetapkannya   regulasi-regulasi   tentang   kontaminan-kontaminan tersebut khususnya oleh pasar Eropa yang merupakan pasar  utama dari hasil pekebunan Indonesia, telah menyebabkan peningkatan biaya produksi dan pemasaran, khususnya biaya untuk pengiriman dan biaya analisis  sampel-sampel yang sangat mahal untuk di analisis di laboratorium yang ditunjuk oleh para buyers yaitu Eurofins Laboratory  yang terdapat di Hamburg, Jerman.   Biaya analisis 9,10-AQ dan pengiriman mencapai Euro 80 atau sekitar Rp 1,3 juta per sampel.   Selain memerlukan biaya analisis dan pengiriman sampel ke Eurofins Jerman yang cukup mahal, juga memerlukan waktu yang lama (sekitar dua minggu) untuk mendapatkan hasilnya.   Hal ini telah menyebabkan terganggunya cash flow dari para pelaku usaha perkebunan mengingat cukup banyaknya barang yang tertahan menunggu hasil analisis tersebut. Apabila hasil analisisnya positif mengandung suatu kontaminan di atas MRL, maka barang-barang tersebut tidak jadi dibeli atau tidak laku, sehingga mengganggu perputaran dana cash flow dari para pekebun, dan para eksportir untuk biaya operasional khususnya untuk keperluan penggajian para karyawan.

Utuk komoditas dan produk-produk teh Indonesia,  pasar  Eropa  merupakan  pasar utama ekspor teh Indonesia dengan pangsa pasar sebesar 19% dari total volume ekspor teh Indonesia (Gambar 1).   Pada tahun 2015, ekspor teh Indonesia ke pasar Eropa mencapai 11.717 metric tons dengan nilai devisa sebesar USD 20.846.000  (ITC, 2017). Setelah penerapan  MRL untuk    9,10-AQ    pada  teh  di  pasar  Eropa  secara  efektif,  telah  terjadi penurunan ekspor teh Indonesia dari 17.646 ton pada tahun 2013 menjadi hanya 11.717 ton pada  tahun  2015,  atau  menurun  sebesar  33,6%  per  tahun,  suatu  penurunan  yang cukup drastis.    Oleh karena itu, penerapan regulasi MRL untuk 9,10-AQ pada teh di pasar Eropa menjadi masalah besar bagi industri teh Indonesia.  Penurunan ekspor teh Indonesia ke pasar Eropa akan menyebabkan terganggunya peran perkebunan teh sebagai konservasi lingkungan ekologi, lingkungan sosial sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi sekitar 360.000 pekerja, dan 113.304 Kepala Keluarga  petani teh serta peran komoditi teh sebagai penghasil devisa Negara.

Gambar 1.  Negara-negara tujuan ekspor teh Indonesia pada tahun 2015
Sumber: ITC (2017)

Secara rinci, peranan komoditas teh dalam perekonomian di Indonesia cukup strategis.  Industri teh Indonesia diperkirakan menyerap sekitar 360.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa. Selain itu, secara nasional industri teh menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 1,2 trilyun (0,3% dari total PDB non-migas) dan menyumbang devisa bersih sekitar 110 juta dollar AS per tahun.

Perkebunan teh memiliki peran yang penting dalam konservasi tanah dan air dalam rangka mengurangi erosi, bahaya longsor dan banjir serta mengurangi dampak perubahan iklim.  Fungsi hydrology dari perkebunan teh dengan kerapatan tanaman sekitar 10.000 pohon teh per hektar setara dengan hutan. Oleh karena itu, peran  konservasi  dari  komoditi  teh  dalam  perekonomian  Indonesia  merupakan  yang terpenting.

Selain itu, perkebunan teh sangat selaras untuk mewujudkan  The United Nation’s Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 khususnya dalam mewujudkan: (a) pengentasan kemiskinan; (b) kehidupan yang lebih sehat; (c) menggalakkan peluang pembelajaran dalam kehidupan; (d) pemberdayaan perempuan; (e) ketersediaan air bersih; (f) pertumbuhan ekonomi yang stabil, tenaga kerja yang sangat produktif; dan (g) untuk mengurangi kesenjangan pendapatan (United Nations,  2017).

Indonesia merupakan negara produsen teh terbesar ketujuh dunia setelah China, India, Kenya, Sri Lanka, Turki dan Vietnam. Pada tahun 2016, produksi teh Indonesia mencapai 144.000 ton  (Ditjenbun,  2018).  Indonesia dikenal  sebagai  negara  penghasil  teh  hitam orthodox dengan kontribusi produksi sebanyak 70,4% dari total produksi tahun 2016. Selebihnya berupa teh hitam jenis Crushing, Tearing and Curling  (CTC) sebesar 7,7%, teh hijau 19,4% dan jenis teh lainnya, antara lain, teh putih, teh Oolong dan teh spesial lainnya sekitar 2,5% dari total produksi teh Indonesia.

Masalah non- tariff barriers khususnya hambatan MRL ini telah menjadi masalah utama dari  para pelaku usaha perkebunan Indonesia khususnya pelaku usaha perkebunan teh yang sebagian besar merupakan Perkebunan Rakyat (45,3%).  Untuk itu, perlu dicari solusi, selain dengan pendekatan teknologi untuk mengurangi resiko MRL, juga perlu dicari alternative solusi berupa bukti ilmiah atau scientific evidence untuk meng-counter segala macam hambatan kontaminan tersebut terutama 9,10-AQ yang saat ini menjadi masalah utama.

Upaya Untuk Mereduksi Dampak Kontaminan Anthraquinone (9,10-AQ) sebagai Bukti Ilmiah untuk Otoritas Pasar Eropa.
Menanggulangi hal tersebut, pada bulan Januari – Februari 2019 dari dana kontrak penelitian antara PT. RPN dengan LPDP, Kemenkeu, dan Tim Gabungan antara Tim Peneliti PT RPN (Dr. Rohayati Suprihatini; Agustin Sri Mulyatni, MP; Arif Rahman Hakim, S.TP, M.Si; Valentina Sokoastri, S.KPm, M.A) dan Tim Peneliti dari Biofarmaka IPB (Prof.Dr. Irmanida Batubara; dan Prof. Dr. Suminar S. Achmadi) serta Peneliti dari Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB (Dr. Simi Mariya, SSi, MSi), telah dilakukan percobaan pemberian beberapa dosis 9,10-AQ terhadap perkembangan empat (4)  jenis sel kanker koleksi dari PSSP, IPB yaitu (1) sel kanker usus manusia HCT 116; (2) sel kanker usus manusia WiDr; (3) sel kanker payudara manusia MCF-7; dan (4) sel kanker leher rahim hela pada manusia.

Tim Peneliti sedang melakukan diskusi riset di Kantor PT RPN

Hasil eksperimen pemberian beberapa dosis 9,10-AQ murni terhadap 4 jenis sel kanker manusia, diketahui bahwa sampai dosis 9,10-AQ yang sangat tinggi yaitu 500 ppm pada sel atau setara dengan 1,25 juta ppm pada teh kering, dari hasil uji tersebut tidak terbukti bahwa 9,10-AQ menyebabkan perkembangan sel kaker atau sebagai karsinogen karena persentase viabilitas sel pada kasus sel kanker yang diuji tidak ada yang melebihi kontrol (100%).  Bahkan terdapat kecenderungan menekan perkembangan sel kanker pada dosis 9,10-AQ mulai sebesar 25 ppm hingga 500 ppm pada sel kanker.

Hasil scientific evidence pada pecobaan tersebut, tentunya dapat menangkal dugaan dari EU Authority bahwa antraquinone diduga akan menimbulkan potensi kanker pada manusia yang diklasifikasikan sebagai Carc.1B. Scientific evidence ini akan dapat mengcounter dugaan dari EU Authority tersebut yang para ahlinya tergabung dalam European Food Safety Authority (EFSA).

Dari scientific evidence ini, akan dijadikan materi negosiasi untuk meningkatkan MRL dari Athraquinone pada teh Indonesia tersebut dari 0,02 ppm pada teh kering yang para pelaku industri Nasional mengalami kesulitan untuk memenuhinya, akan diusulkan ke level yang lebih tinggi lagi.  Berdasarka data hasil percobaan, dosis 10 ppm pada sel merupakan dosis netral yang sama dengan kontrol.  Dengan demikian, akan diusulkan dan dinegosiasikan dosis MRL Anthraquinone yang baru berdasarkan scientific evidence ini yaitu sebesar 10 ppm pada sel atau setara dengan 25000 ppm pada teh kering.  Pada tahap awal melalui Direktoral Pengamanan Perdagangan (Dirat PP), Ditjen Perdagangan Luar Negeri,  Kemendag dan Atase Perdagangan serta Atase Pertanian Indonesia, Kedutaan Indonesia di Brussels, Belgia,  yang akan diusukan peningkatan MRL dari Anthraquinone khususnya pada teh dari 0,02 ppm pada teh kering menjadi 25000 ppm pada teh kering sesuai hasil percobaan atau scientific evidence tersebut.

Dengan bukti ilmiah yang kuat dan Tim Negosiator yang handal dari pihak Indonesia, diharapkan usulan tersebut dapat diterima oleh pihak Directorate General Sante, suatu  lembaga yang bertanggung jawab atas kebijakan UE tentang keamanan dan kesehatan pangan dan memantau implementasi undang-undang terkait.

 

 

Artikel SebelumnyaPPBBI Mengembangkan Teknik Kultur Jaringan Kelapa Kopyor yang Dapat Menghasilkan 99,99% Buah Kopyor
Artikel SelanjutnyaPerkembangan Revolusi Industri 4.0 di Perkebunan

TINGGALKAN KOMENTAR

Mohon masukkan komentar Anda
Mohon masukkan nama Anda