Yang pasti dari Brexit adalah menambah ketidak-pastian ekonomi dunia. Hal ini akan berujung pada melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia sehingga akan menekan permintaan dunia termasuk permintaan terhadap produk-produk perkebunan Indonesia.
Brexit Melawan Integrasi Ekonomi yang Terlalu Dalam
Brexit seperti petir disiang bolong terutama bagi mereka yang menganut mazab bahwa integrasi ekonomi atau globalisasi adalah arus global dasyat yang tidak dapat dicegah. Bagi mereka, integrasi ekonomi dalam bentuk berbagai bentuk kerjasama ekonomi dan perdagangan merupakan salah satu kunci utama untuk menigkatkan kesejahteraan bangsa. Oleh sebab itu, tidaklah heran jika hampir semua negara secara terus menerus berpacu untuk meningkatkan kerjasama ekonomi baik yang bersifat bilateral, regional, dan multilateral dalam payung WTO.
Negara-negara Eropa menjadi salah satu champion untuk urusan integrasi ekonomi. Negara-negara Eropa yang berjumlah 28 negara atau dikenal dengan EU-28 telah mencapai tingkatan kerjasama ekonomi tertinggi atau paling komprehensif dalam bentuk economic union (EU) atau economic community (EC). Tingkat kerjasama ekonomi ini mempunyai tingkatan kerjasama diatas model kerjasama ekonomi lainnya seperti common market (CM), custom union (CU), free trade area (FTA), atau preferential trade agreement (PTA). Dengan EC, maka arus barang, jasa, finansial, faktor produksi bergerak bebas antar negara anggota bahkan kebijakan pendidikan, kesehatan, termasuk mata uang sudah menjadi satu, kecuali Inggris Raya (UK).
Atas keberhasilan ini, banyak kelompok negara yang tergoda atau bahkan terobsesi untuk meniru EU-28. ASEAN kini tengah bekerja keras atau setengah memaksakan diri meniru EU-28 dan telah membentuk ASEAN Economic Comminity (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Negara-negara di kawasan Pacific juga telah membentuk kerjasama ekonomi yang sangat komprehensif yang dikenal sebagai Trans Pacific Partnership (TPP) yang melibatkan negara-negara besar seperti Amerika dan Jepang termasuk negara anggota ASAEN seperti Singapura dan Vietnam. Bahkan, negara-negara Afrika yang dikenal masih tertinggal secara ekonomi juga tidak kalah gencarnya melakukan integrasi ekonomi seperti dalam bentuk the Economic Community of West African State (ECOWAS).
Di tengah arus deras integrasi ekonomi (globalisasi) yang demikian menyihir, tiba-tiba UK melakukan referendum dengan hasil UK ke luar dari EU (Brexit). Hasil referendum yang dilaksankan pada tanggal 23 Juni 2016 akhirnya memenangkan kelompok yang mendukung Brexit dengan jumlah suara mencapai 51.8%. Hal ini berarti mayoritas rakyat UK mendukung UK keluar dari Masyarakat EU-28. Kekecewaan sebagian masyarakat pedesaan, kelompok tenaga kerja yang relatif tua dan kurang kompetitif, masalah imigrasi, serta kenangan masa lalu sebagai negara makmur dan berdaulat penuh, telah membuat mereka memilih untuk keluar dari EU-28 (Boom, 2016).
Sebagian besar kalangan termasuk kebanyakan pemimpin negara dikagetkan oleh hasil referendum tersebut. Mereka seakan tidak percaya bahwa masyarakat Inggris seperti meruntuhkan hasil kerja keras mereka selama ini yang diraih dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Mereka juga kaget karena selama ini Inggris adalah salah satu negara yang berpengaruh besar dan motor penggerak dari EU-28, selain Jerman dan Perancis. Inggris juga memperoleh manfaat besar dari EU seperti pasar barang dan jasa, sumber foreign direct investment (FDI), penerima terbesar dana-dana untuk riset industri, dan juga yang terpenting adalah sebagai pusat jasa pelayanan keuangan EU-28 dan dunia (Irwin, 2015).
Berbagai analisis menyebutkan bahwa paling tidak ada 10 alasan kenapa mayoritas masyarakat Inggris menginginkan Brexit. Dari 10 alasan tersebut, tiga yang utama adalah Inggris ingin kembali memperoleh kedaulatannya secara pilitik dan ekonomi secara penuh, mengatur secara mandiri masalah imigrasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi (Sun, 22 Juni 2016). Inilah slogan yang dipasarkan oleh para politisi yang menghendaki UK keluar dari EU 28.
Intinya, mayoritas rakyat Inggris saat ini sedang menantang pemikiran integrasi ekonomi khususnya integrasi yang sangat dalam seperti economic union/community. Inggris mungkin akan mencoba mengarungi globalisasi dan liberalisasi dengan tingkatan yang lebih dangkal seperti dalam bentuk CU atau FTA. Apapun hasilnya, acungan jempol patut diberikan kepada UK yang telah mau menjadi kelinci percobaan melawan mahzab integrasi ekonomi yang dasyat.
Dampak Brexit: Utamanya Ketidak-Pastian
Kalau UK benar-benar memproses hasil referendum tersebut dan keluar dari EU-28, maka dampaknya diperkirakan akan cukup luas baik menyakut aspek ekonomi, sosial, bahkan politik. Memang masih terlalu dini untuk melihar dampak Brexit secara rinci dan pasti untuk saat ini. Namun demikian, analisis secara kualitatif sudah memberi indikasi bahwa Brexit akan menimbulakn ketidak-pastian dan akan menjadi lose-lose solution.
Irwin (2015) dalam studinya berjudul Brexit: the Impact on the UK and EU, memberi analisis yang cukup komprehensif secara kualitatif mengenai berbagai dampak kalau UK keluar dari EU-28 sehingga EU menjadi EU-27. Dari 10 dampak yang dibahas dalam studi ini, ada 8 dampak yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan aspek ekonomi termasuk perdagangan.
Besarnya dampak Brexit, kalau memang terwujud, akan sangat bergantung pada bentuk kerjasama baru antara UK dengan EU-27. Secara teoritis, kerjasama baru tersebut dapat berbentuk mendekati model EU-28 seperti model European Economic Area (EEA) Norwergia atau sedikit di bawahnya yaitu CU model Turki. Namun kedua model ini dinilai kecil peluangnya karena esensi dari Brexit yang ingin Inggris agar relatif independen dari kebijakan EU-27, tidak bisa terwujud. Ekstrim lainnya adalah UK hampir secara total lepas dengan EU dan hanya terikat dalam bentuk Most Favored Nation (MFN). Model ini juga dinilai tidak konsisten dengan tujuan UK untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan yang lebih luas. Model yang dinilai peluangnya besar adalah antara pendekatan free trade area (FTA) atau model Swiss Style Bilateral Accord dimana kedua pendekatan tersebut berada dianatara dua ekstrim yaitu EEA & CU dengan MFN.
Dengan asumsi bentuk bentuk kerjasama tersebut, banyak pengamat menilai Brexit adalah sebuah keputusan emosional dengan hasil berupa lose-lose solution. Boom (2016) dalam presentasinya berjudul FTA and Regionalism in South East Asia- Including the Impacts of the Brexit, menyebutkan bahwa banyak dampak negatif dari Brexit baik terhadap EU maupun UK. Sebaliknya, Boom (2016) belum bisa menemukan dampak positif dari Brexit tersebut. Kesimpulan ini memperkuat analisis yang dilakukan oleh Irwin pada tahun 2015.
Sebagai contoh, Brexit akan kembali meningkatkan hambatan perdagangan antara UK dengan EU-27 sehingga akan menurunkan volume perdagangan kedua belah pihak. Padahal, UK diperkirakan mampu meningkatkan volume perdagangannya sebesar 55% sampai dengan tahun 2013 ke wilayah EU justru karena memanfaatkan bentuk kerjasama yang selama ini dinikmati oleh UK. Sebaliknya, UK juga merupakan sumber permintaan negara-negara EU dan bersarnya PDB UK adalah sekitar 13% dari PDB EU secara keseluruhan. Keluarnya UK tentu merupakan tekanan untuk negara-negara anggota EU-27. UK juga kehilangan kesempatan untuk meningkatkan GPD-nya sekitar 7% jika liberalisasi secara penuh sektor jasa di EU diwujudkan (Irwin, 2015).
EU merupakan penyumbang FDI terbesar ke UK dan pada tahun 2013 mencapai sekitar 46% dari FDI ke UK. Dengan Brexit, UK berpotensi kehilangan sebagian sumber FDI dari negara-neraga anggota EU dan sebaliknya. Di sisi lain, London merupakan kota dengan jasa pelayanan keuangan yang paling efisien sekaligus pusat pasar jasa keungan terbesar di Eropa. Brexit akan membuat biaya jasa keuangan di negara-negara anggota EU akan meningkat sehingga akan menambah biaya produksi di di negara-negara tersebut. Hal ini dapat menurunkan daya saing dan konsumen harus membayar lebih mahal atas barang dan jasa yang mereka konsumsi.
Di luar dampak ekonomi yang kasat mata, banyak analisis justru sangat mengkhawatirkan dua dampak Brexit lainnya yaitu (i) ketidak-pastian yang berkepanjangan dan (ii) efek penularan (contagion effect). Sumber ketidak-pastian yang pertama adalah apakah UK benar-benar akan memproses hasil referendum ke EU. Kalaupun diproses, kapan akan diproses juga masih belum bisa dipastikan. Ada tendensi bahwa sebagian masyarakat yang waktu referendum mendukung Brexit, kini menyesali pilihan mereka (“Bregreters”). Di samping itu, Irlandia Utara yang merupakan bagian dari UK ada tanda-tanda untuk mengikuti jejak UK dengan melakukan referendum untuk keluar dari UK. Kalau ini terjadi,tentu akan sangat mengkhawatirkan pemerintah Inggris. Kompleksitas ini diduga akan membuat pemerintah Inggris akan ragu-ragu dalam memproses hasil referendum. Ini jelas akan menimbulkan ketidak-pastian secara politik dan ekonomi.
Kedua, kalau nanti pemerintah UK memproses hasil referendum tersebut, maka berdasarkan exit clause pasal 50 dari EU Treaty, UK dan EU punya waktu dua tahun untuk menyelesaikan proses “penceraian” tersebut. Selanjutnya, EU dan UK dapat memulai kembali merumuskan dan menyepakati bentuk hubungan kerjasama yang baru. Jika selama dua tahun tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka Inggris tidak lagi terikat dengan ketentuan di EU-27 sementara EU-27 tidak lagi memiliki kewajiban lagi seperti sebelumnya. Proses ini diperkirakan baru akan berakhir sekitar tahun 2025 sehingga menimbulkan ketidak-pastian yang berkepanjangan (Irwin, 2015).
Selama porses panjang tersebut, para pemimpin EU dikhawatirkan akan fokus pada masalah ini dan dapat mengabaikan program pembangunan yang seharusnya menjadi prioritas. Sekedar ilustrasi, akibat ketidak-pastian ini, pertumbuhan ekonomi UK diperkirakan akan berkurang sekitar 0,4% poin pada tahun 2016 dan 0.5%-0.7% poin pada tahun 2017. Sementara itu, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan UK sebesar 0.9% poin untuk tahun 2017 menjadi hanya 1.3% (IMF, 2016, http://www.beritasatu.com/ekonomi/375474).
Kekhawatiran kedua adalah adanya efek penularan secara politis ke beberapa negara anggota EU (political contagion effect). Sudah ada sebagian anggota kelompok di beberapa negara EU seperti di Belanda yang sudah mulai mengangkat isu ini dan akan semakin menguat jika pilihan Inggris itu ternyata terbukti benar. Jika ini sampai terjadi, maka goyahlah menara EU yang sudah sering dijadikan referensi integrasi ekonomi oleh banyak kelompok negara, termasuk ASEAN.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Berbagai dampak Brexit terutama yang berkaitan dengan perdagangan, investasi, finansial, dan yang paling dikhawatirkan adalah ketidak-pastian yang berkepanjangan, akan berdampak negatif pada ekonomi dunia. Sebagai negara yang perekonomiannya cukup terbuka, Indonesia tentu akan kena imbasnya, walaupun tidak separah negara-negara yang sangat terbuka seperti Singapura. Akibat Brexit, IMF (2016) telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0.1% poin baik untuk tahun 2006 dan tahun 2007. Dengan revisi tersebut, IMF memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 3.1% pada tahun 2016 dan 3.4% pada tahun 2017.
Pelajaran pertama yang perlu dicermati adalah dampak dari Brexit terhadap kinerja eskpor dan ekonomi Indonersia. Kalau dilihat koreksi proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi dunia hanya sebesar 0.1% poin untuk tahun 2017, dampak terhadap perekonomian Indonesia secara umum mestinya tidak terlalu besar. Dampak yang akan lebih signifikan tentunya bersumber dari kawasan EU termasuk UK. Seperti diketahui, pangsa perdagangan EU dan UK terhadap perdagangan dunia masing-masing adalah sekitar 15.4% dan 4.3%. Dengan perkiraan pangsa ekspor Indonesia ke EU adalah bervariasi pada kisaran 18%, maka penurunan kinerja ekonomi di EU tentu akan berpengaruh pada eskpor Indonesia ke negara tersebut. Jika ini terjadi, maka permintaan dunia akan menurun termasuk permintaan terhadap produk-produk handalan perkebunan Indonesia seperti CPO, kopi, kakao, dan karet. Tentu masih terlalu dini untuk memproyeksikan secara kuantitatif.
Dampak tersebut belum memperhitungkan dampak tidak langsung dari pengaruh penurunan ekonomi EU terhadap negara besar khususnya China, Amerika dan India. Kalau nantinya ketiga negara tersebut terkena dampak cukup signifikan akibat Brexit, maka ekspor dan ekonomi Indonesia akan terkena dampak yang lebih besar. Hal ini tentu sangat berat karena ekspor Indonesia masih terus mengalami laju pertumbuhan yang menurun sebagai akibat belum pulihnya kelesuan ekonomi di EU serta melambatnya pertumbuhan ekonomi di China dan India. Intinya, Brexit akan menambah beban berat upaya peningkatan ekspor Indonesia yang sebenarnya kini masih tertekan.
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari Brexit, seperti disebutkan oleh Boom (2005) adalah hati-hati terhadap ketidak-adilan distribusi manfaat dari suatu kerjasama atau integrasi ekonomi. Bagi masyarakat perkotaan seperti di London atau tenaga kerja muda di perkotaan yang memiliki ketrampilan yang memadai, integrasi ekonomi tentu sangat menguntungkan mereka. Sebaliknya, masyarakat di pedesaan dan kalangan tenaga kerja yang relatif tua dengan ketrampilan yang tidak mampu bersaing, integrasi ekonomi membuat kesejahteraan mereka semakin tertekan. Mereka banyak yang hanya menjadi penonton sehingga mereka terbawa pada kenangan manis masa lalu, ketika mereka belum bergabung dengan EU.
Kelompok inilah yang kecewa dan dimanfaatkan oleh para politisi untuk keluar dari EU. Mereka mengatakan 10 harapan yang pada prinsipnya adalah mengembalikan kedaulatan politik, mengendalikan sendiri imigrasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi (“leaving EU will save our sovereignty, rein in immigration, and boost our economy”). Semboyan ini cukup ampuh bagi sebagian masyarakat pedesaan ataupun yang terpinggirkan oleh integrasi dalam kerangka EU. Kelompok ini ternyata cukup dominan sehingga ketika referendum dilaksanakan, kelompok yang mendukung keluar dari EU (Brexit) menggungguli kelompok yang ingin tetap bergabung dengan EU.
Pelajaran yang dapat dipetik dalam hal ini adalah, ketika Indonesia melakukan kerjasama atau integrasi ekonomi seperti dengan MEA, pemerintah harus dengan cermat meyiapkan instrumen kebijakan yang dapat menjamin bahwa distribusi manfaat dari integrasi ekonomi tersebut dapat dinikmati oleh seluruh atau paling tidak sebagian besar masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di pedesaan, tenaga kerja yang kurang terampil, lemah dari sisi permodalan, termasuk kelompok masyarakat yang relatif tua. Artinya, pemerintah harus menyiapkan instrumen distribusi dan penguatan untuk kelompok-kelompok ini.
Pelajaran ketiga yang dapat dipetik adalah agar lebih berhati-hati, khususnya bagi negara atau kawasan lain yang tengah berupaya keras untuk memperbanyak dan meningkatkan integrasi ekonomi seperti Indonesia. Brexit telah memberi pembelajaran bahwa integrasi ekonomi yang sangat dalam dan komprehensif seperti dalam bentuk economic union/economic community, agak berdampak positif secara total tetapi dapat menurunkan kesejahteraan mayoritas masyarakat. Untuk ASEAN dan Indonesia khususnya, semangat membara untuk membawa ASEAN ke model economic union/economic community perlu dicerna ulang. Sejalan dengan hal ini, keinginan Indonesia untuk ikut di Trans Pacific Partnership (TPP) dengan tingkat liberalisasi yang demikiian dalam (komprehensif), mungkin perlu diendapkan untuk sementara, sambil terus melakukan kajian-kajian yang lebih matang.
Wayan R. Susila
(Penulis adalah seorang trade economist di Center for Agriculture and People Supports/CAPS dan bekerja di lembaga internasional)